Rabu, 29 Juni 2016

Efisiensi versus Maqasid Syariah Index Bank Syariah



Term 'efisiensi' adalah barang wajib bagi industri keuangan, terutama perbankan. Tidak hanya bank komersial biasa, tapi juga bank syariah. Namun, bank syariah Indonesia belakangan ini mengalami apa yang disebut dengan stagnasi, atau paling tidak perlambatan pertumbuhan. 

Jika dibanding dengan negeri jiran, pangsa aset perbankan syariah Indonesia masih berkutat pada angka 5% dari total industri perbankan nasional. Malaysia? Pada 2015 lalu, market share perbankan syariahnya mencapai 27%, atau 5 kali lipat dibanding Indonesia. 

Di sisi lain, bank syariah juga dituntut untuk beroperasi sesuai syariah, shariah comply. Tidak sekedar 'ganti nama', atau sekedar copy cut dengan bank konvensional. Bank syariah perlu untuk menerapkan prinsip-prinsip syariah. Bahkan harus 100% sesuai dengan syariah.

Kali ini, SMART mencoba meriset performa bank syariah (baca: BUS) berdasarkan 2 sisi. Pertama dari tingkat efisiensi. Kedua dari perspektif maqashid syariah index yang pertama kali dikenalkan oleh Mostafa Omar Mohammed (2007).

Berdasarkan pendekatan ini bank umum syariah dikelompokkan ke dalam 4 (empat) kuadran berdasarkan kategori tingkat efisiensi dan kategori kinerja perbankan berdasarkan maqashid shariah index (MSI), yakni high dan low . 

Kuadran 1 meliputi bank umum syariah yang memiliki tingkat efisiensi yang tinggi dengan indeks Maqasid Syariah yang tinggi pula, sehingga dapat dianggap sebagai bank syariah terbaik dibanding kelompok kuadran lain. 

Kuadran 2 mencakup bank umum syariah yang memiliki tingkat efisiensi yang tinggi, tapi di sisi lain mempunyai indeks Maqasid Syariah yang rendah. Kumpulan bank umum syariah pada kelompok ini dapat dianggap sebagai bank syariah yang mampu mengelola sumber dayanya sehingga mempunyai tingkat efisiensi yang cukup tinggi namun memiliki tingkat kesyariahan yang kurang baik. Artinya, tingginya nilai efisiensi bank syariah pada kuadran ini tidak diikuti dengan indeks Maqasid yang tinggi. 

Kuadran 3 meliputi kelompok bank umum syariah yang memiliki tingkat efisiensi yang rendah, namun di sisi lain mempunyai indeks Maqasid Syariah yang baik. Kumpulan bank umum syariah pada kuadran 3 ini dapat dianggap sebagai bank syariah yang kurang memperhatikan efisiensinya namun lebih memfokuskan kepada tingkat kesyariahan.

Last but not least, kuadran 4 merupakan kelompok bank umum syariah dengan tingkat efisiensi yang rendah dengan indeks Maqasid Syariah yang rendah pula. Kumpulan bank umum syariah pada kelompok ini dapat dianggap sebagai bank syariah yang kurang mampu mengelola sumber daya yang dimiliki sehingga efisiensinya sangat rendah serta memiliki tingkat kesyariahan yang kurang baik.

Berikut adalah pembagian kelompok bank umum syariah (BUS) berdasarkan perhitungan tingkat efisiensi (CRS) yang dicapai dan kinerjanya dari sudut pandang maqoshid shariah, dengan dua kategori yakni angka efisiensi pada sumbu y dan nilai maqashid shariah index (MSI) selama periode penelitian pada sumbu x.

Berdasarkan hasil yang tampak pada gambar, terlihat bahwa pada periode penelitian 2011-2015, terdapat 2 bank umum syariah yang berada pada kuadran 1, ada 3 bank syariah yang berada pada kuadran 2, terdapat 2 bank syariah yang masuk ke dalam kuadran 3 dan ada 4 bank umum syariah yang masuk kategori kuadran 4.

Insight yang didapat, secara umum mayoritas bank syariah memiliki indeks syariah yang relatif rendah (7 dari 11 bank). Demikian juga tingkat efisiensi (6 dari 11 bank). Terkait hasil efisiensi, hal ini sesuai dengan BOPO bank syariah yang mayoritas tinggi belakangan ini. Meski demikian, beberapa bank menunjukkan performa yang cukup baik. 

Dengan hasil ini, industri bank syariah perlu terpacu. Stakeholder ekonomi dan keuangan syariah perlu membuktikan bahwa Indonesia bukan hanya 'nama besar'. Indonesia bukan hanya berbicara potensi dan potensi. Nampaknya, perlu effort yang keras untuk membangunkan 'macan yang terlalu lama tidur'.

Senin, 27 Juni 2016

Ada Apa Dengan Bank Syariah 2 Tahun Terakhir?



Jika beberapa waktu lalu para peminat film ramai dengan tayangan AADC2 yang dibintangi Rangga dan Cinta, maka judul dalam analisis ini adalah AADB2. Ada Apa Dengan Bank syariah 2 tahun terakhir ini? Hehe.. Agak 'maksa' tapi mari kita simak bersama.

Ada 5 rasio keuangan penting yang biasa digunakan oleh para bankir atau analis keuangan dalam melihat dan mengukur tingkat kesehatan dan performa bank. Kelima rasio tersebut adalah: CAR (Capital Adequacy Ratio), ROA (Return on Asset), FDR (Financing to Deposit Ratio), NPF (Non Performing Financing), dan BOPO (Biaya Operasional per Pendapatan Operasional).

Dalam dashboard terlihat, data rasio keuangan rata-rata bank syariah Indonesia sejak 2005 hingga 2015. Kelima rasio ini adalah rata-rata dari total bank umum syariah dan unit usaha syariah yang ada. Data didapat dari Statistik Perbankan Syariah (SPS) Otoritas Jasa Keuangan (OJK). 

Selama rentang 11 tahun terakhir, data berfluktuasi. Tapi mari kita cermati data 2 tahun terakhir. Kondisi CAR relatif stabil. Namun ROA sebagai cerminan profitabilitas, pada 2014 mengalami titik terendah selama 11 tahun terakhir, yakni 0.80%. ROA mengukur kemampuan perusahaan menghasilkan keuntungan atau laba pada tingkat pendapatan, aset dan modal saham tertentu.

Demikian juga yang terjadi dengan FDR (Financing to Deposit Ratio). FDR adalah rasio pembiayaan terhadap pendanaan. Semakin tinggi FDR menunjukkan fungsi intermediasi bank syariah berjalan. Jika pada 2012-2013 angkanya mencapai 100%, maka pada 2014 dan 2015 FDR bank syariah turun menjadi 91.50% dan 96.46%.

Pada sisi lain yaitu rasio kredit macet (NPF), performa bank syariah 2 tahun terakhir juga cukup mengkhawatirkan. Jika sejak 2010 nilainya berada pada kisaran 3% bahkan hanya 2%, maka pada tahun 2014 dan 2015 angkanya meningkat menjadi 4.33% dan 3.94%. Masih lebih tinggi dibanding bank konvensional.

Last but not least adalah BOPO yang biasa dilihat dari perspektif efisiensi. Semakin kecil BOPO, semakin baik performa bank dalam kerangka optimalisasi income. Kondisi 2 tahun terakhir menggambarkan kenaikan tingkat BOPO: 79.27% pada tahun 2014 dan 90.21% pada 2015.

Lantas, mengapa hal ini terjadi? Banyak yang menganalisis bahwa mulai 2014 perekonomian relatif melambat. Demikian juga iklim bisnis yang semakin tidak kondusif. Kondisi politik dalam negeri juga relatif kurang stabil pasca pemilihan presiden tahun 2014 lalu. 

Namun, di luar faktor eksternal tersebut, semestinya para stakeholder industri perbankan syariah perlu introspeksi. Jangan bak pepatah, buruk muka cermin dibelah. Dulu analisanya industri keuangan syariah tahan krisis. Faktanya tidak seindah teori. 

Maka, yang paling baik adalah introspeksi ke dalam. Mari perbaiki bersama SDM, baik kualitas maupun kuantitas. Sistem teknologi dan informasi perlu 'diimprove'. Keterbatasan modal dan sumber dana perlu dicarikan jalan keluar. Produk-produk yang inovatif dan 'genuine' perlu dicari. Dan beragam pekerjaan rumah lainnya.

Minggu, 26 Juni 2016

Business Intelligence Perbankan Syariah Indonesia


Business Intelligence (BI) adalah sekumpulan teknik dan alat untuk mentransformasi dari data mentah menjadi informasi yang berguna dan bermakna untuk tujuan analisis bisnis. Hasil keluaran dari teknologi BI dapat berupa tampilan data masa lalu dari operasi bisnis, juga tampilan operasi bisnis saat ini, atau juga prediksi untuk operasi bisnis di masa depan.
Fungsi umum yang biasa terdapat pada BI adalah reporting, online analytical processing, analytics, data mining, business performance management, benchmarking, text mining, dan predictive analytics.
BI menggunakan Data Warehouse untuk mengelola data-datanya dalam jumlah besar dan kemudian data tersebut dapat dikelola dan ditampilkan dengan lebih eye catching. Namun tidak semua BI menggunakan Data Warehouse dalam mengelola data-datanya. Artinya tidak semua BI membutuhkan Data Warehouse dalam mengelola data-datanya.
BI bertujuan untuk memudahkan dan mendukung pembuatan keputusan pada operasi bisnis. Sistem BI tersebut dapat disebut juga Decision Support System (DSS). DSS memberikan bantuan manajemen dan perencanaan dari sebuah organisasi dan bisa membantu dalam membuat keputusan yang tidak dapat dibuat secara mudah oleh manusia. Misalnya keputusan yang sulit dispesifikasikan karena hal yang berkaitan dapat berubah secara acak.
SMART Consulting, kali ini mencoba menganalisis data-data yang berkaitan dengan perbankan syariah di Indonesia secara umum untuk diolah dengan bantuan salah satu software BI yakni IBM Watson Analytics. Data-data tersebut antara lain: Total Aset, Jumlah Kantor (termasuk KC, KCP, KK), Jumlah pegawai, Total Dana Pihak Ketiga, Total Pembiayaan, Laba Bersih hingga Jumlah rekening. Data perbankan syariah disini termasuk Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah.
Beberapa insight dapat terlihat pada gambar. Faktor yang mendorong pertumbuhan aset bank syariah adalah: jumlah kantor, jumlah rekening, dan DPK. Selain itu, variabel pembiayaan dan total HR juga menjadi pendorong (driver) lain.
Dalam analisis tren, terlihat bahwa sejak 2005 hingga 2015 data-data perbankan syariah mengalami kenaikan. Meski sejak 2014 kenaikannya tidak eksponensial. Insight menarik lain dalam analisis ini, jumlah pegawai (human resources) dalam industri perbankan syariah kenaikannya relatif lebih rendah dibanding dengan pertumbuhan data lain. Ini baru bicara kuantitas SDM, belum kualitas.
Hasil lainnya adalah terkait analisis 'relationship', hubungan antardata, antarvariabel. Secara umum, seluruh data memiliki hubungan (slope) positif. Semakin banyak dan luas jaringan kantor, semakin tinggi aset. Demikian pula dengan DPK, jumlah rekening, dan pembiayaan. Yang menarik adalah kaitan antara total aset dengan laba bersih (net income). Tampak pada gambar, meski positif namun data menunjukkan laba bersih terbesar terjadi pada 2013 silam, bukan akhir periode 2015. Artinya, 2 tahun ke belakang, perkembangan bank syariah memang tidak sesuai ekspektasi.
Di luar analisis di atas, masih banyak lagi modul lain yang sangat bermanfaat seperti: bagaimana model prediksi di masa depan, apa nilai paling relevan dari data-data terkait, dan sebagainya. Sebagai informasi, tools ini mampu mengolah data time series hingga ratusan ribu bahkan jutaan data. Data tersebut kemudian secara cepat dapat ditampilkan dengan menarik dan diambil insight.

Minggu, 19 Juni 2016

Berapa Aset Total Bank Syariah di Indonesia pada Akhir 2016?



Forecasting adalah ilmu memprediksi kondisi atau peristiwa yang akan terjadi dengan menggunakan data historis dan memproyeksikannya ke masa depan dengan beberapa bentuk model matematis. Peramalan menggunakan teknik-teknik peramalan yang bersifat formal maupun informal (Gaspersz, 1998). Kegiatan peramalan merupakan bagian integral dari pengambilan keputusan. Peramalan mengurangi ketergantungan pada hal-hal yang belum pasti (intuitif). 

Dua hal pokok yang harus diperhatikan dalam proses peramalan yang akurat dan bermanfaat (Makridakis, 1999): data yang relevan serta pemilihan teknik peramalan yang tepat. Untuk melakukan peramalan diperlukan metode tertentu dan metode mana yang digunakan tergantung dari data dan informasi yang akan diramal serta tujuan yang hendak dicapai. 

Dalam prakteknya, terdapat berbagai metode peramalan kuantitatif. Pertama yaitu Moving Averages (rata-rata bergerak) baik ‘simple’ maupun ‘weighted’. Kedua penghalusan eksponensial (exponential smoothing) yakni metode peramalan dengan menambahkan parameter alpha dalam modelnya untuk mengurangi faktor kerandoman. 

Tiga, proyeksi trend (trend projection). Metode proyeksi trend dengan regresi, merupakan metode yang digunakan baik untuk jangka pendek maupun jangka panjang. Metode ini merupakan garis trend untuk persamaan matematis. Selain yang disebutkan di atas, terdapat metode forecasting lain seperti: dekomposisi, ARIMA, dll. 

Kali ini, SMART Consulting mencoba melakukan prediksi total aset yang akan dicapai industri perbankan syariah di Indonesia pada akhir tahun 2016. Alat bantu yang digunakan adalah software QMv3 (Quantitative Method) dengan data time series tahunan mulai 2005 hingga 2015.

Hasilnya menunjukkan bahwa dengan metode dekomposisi (Multiplicative Decomposition), aset bank syariah Indonesia diperkirakan mencapai Rp 313,84 triliun di akhir 2016. Sedikit berbeda dengan hasil tersebut, dengan metode analisis tren, aset bank syariah Indonesia diperkirakan mencapai Rp 314,26 triliun. 
Adapun jika menggunakan pendekatan exponential smoothing dengan tren (alpha 0.2 dan beta 0.5), pada akhir 2016 aset bank syariah Indonesia diperkirakan mencapai Rp 317,93 triliun. Aset bank syariah akan mencapai Rp 325,82 jika alpha dan beta yang digunakan 0.2 dan 0.6. 

Maka, jika tidak ada hal luar biasa yang terjadi -yang sifatnya unorganik- dan asumsi ‘ceteris paribus’, aset bank syariah di Indonesia pada akhir tahun 2016 akan berada pada kisaran Rp 313 hingga Rp 325 triliun ‘saja’. Range nilai ini juga menunjukkan skema pesimis-optimis. Lantas, seberapa tepat prediksi ini? Kita tunggu saja akhir tahun nanti.

Sabtu, 18 Juni 2016

Sensitivitas Faktor Pemilihan Bank Syariah



Analisa sensitivitas dapat dipakai untuk memprediksi keadaan apabila terjadi perubahan yang cukup besar, misalnya terjadi perubahan bobot prioritas atau urutan prioritas dari kriteria karena adanya perubahan preferensi sehingga muncul usulan pertanyaan bagaimana urutan prioritas alternatif yang baru dan tindakan apa yang perlu dilakukan. Dalam suatu hirarki tiga level, level dua dan hirarki tersebut dapat disebut sebagai variabel eksogen sedangkan level tiganya adalah variabel endogen. Analisa sensitivitas dan hirarki tersebut adalah melihat pengaruh dan perubahan pada variabel eksogen terhadap kondisi variabel endogen.

Hasil yang didapatkan dan terlihat pada gambar, terdapat 3 kriteria yang cukup sensitif dalam pemilihan bank syariah di Indonesia: faktor syariah, faktor aksesibilitas jaringan kantor dan faktor kecanggihan teknologi. Sementara itu 2 faktor lain tidak begitu sensitif merespon perubahan preferensi kriteria.

Misalnya, hasil analisis sensitivitas terhadap faktor syariah dengan melakukan peningkatan bobot nilai faktor syariah sehingga ia menjadi prioritas utama. Untuk setiap peningkatan sebesar 10% faktor syariah, terdapat peningkatan sekitar 1-2% bobot Bank Muamalat Indonesia (BMI) dan sebaliknya terdapat penurun sekitar 1-2% bobot BSM. Pada titik tertentu, prioritas alternatif bank menjadi berubah. BMI menjadi bank syariah yang paling dipilih dibanding BSM. Sementara itu posisi tiga hingga lima sama: BNI Syariah, BRI Syariah dan Mega Syariah.

Untuk sensitivitas faktor aksesibilitas, setiap peningkatan sebesar 10% faktor “access”, terdapat rata-rata peningkatan sekitar 1% bobot BNI Syariah dan sebaliknya terdapat penurun sekitar 1% bobot BMI. Pada titik tertentu, prioritas alternatif bank menjadi berubah. BNI Syariah menempati posisi kedua bank syariah yang paling dipilih menggeser posisi BMI. Sementara itu posisi pertama, BSM dan posisi empat dan lima yakni BRI Syariah dan Mega Syariah, sama.

Faktor ketiga yang dianggap sensitif adalah “technological advance”. Mirip dengan faktor aksesibilitas, setiap peningkatan sebesar 10% faktor kecanggihan teknologi, akan meningkatkan 1% bobot BNI Syariah dan sebaliknya menurunkan sekitar 1% bobot BMI. Pada titik tertentu, prioritas alternatif bank menjadi berubah. BNI Syariah menempati posisi kedua bank syariah yang paling dipilih konsumen menggeser posisi BMI. Sementara itu posisi pertama, posisi empat dan lima sama yakni: BSM, BRI Syariah dan Mega Syariah. 

Apabila dikaitkan dengan periode waktu maka dapat dikatakan bahwa analisa sensitivitas adalah unsur dinamis dari sebuah hirarki. Artinya penilaian yang dilakukan pertama kali dipertahankan untuk suatu jangka waktu tertentu dan adanya perubahan preferensi yang cukup dilakukan dengan analisa sensitivitas untuk melihat efek yang terjadi. Analisa sensitivitas ini juga akan menentukan stabil tidaknya sebuah hirarki. Makin besar deviasi atau perubahan prioritas yang terjadi maka makin tidak stabil hirarki tersebut.

Jumat, 17 Juni 2016

Apa Pertimbangan Nasabah Memilih Bank Syariah?



Penelitian terkait perilaku nasabah bank syariah masih menjadi tema menarik. Beberapa hasil penelitian di beberapa negara menunjukkan hasil yang beragam. Misalnya, Haron dan Norafifah (2010) dalam penelitiannya di Malaysia menemukan hubungan positip antara simpanan yang ada di bank syariah dan tingkat keuntungannya. Secara ringkas, riset tersebut menyimpulkan bahwa faktor yang mendorong nasabah menyimpan uangnya di bank syariah adalah motivasi mencari keuntungan atau faktor ekonomis.

Metawa dan Almossawi (1998) dari hasil penelitiannya di Bahrain menemukan bahwa keputusan nasabah dalam memilih bank adalah karena lebih didorong oleh faktor agama. Nasabah menekankan pada ketaatannya pada prinsip-prinsip ajaran Islam. Selain itu juga keputusan nasabah didorong oleh faktor keuntungan, faktor dorongan keluarga dan teman, serta faktor lokasi bank. 

Kali ini, SMART Consulting sebagai lembaga riset dan konsultasi yang fokus dalam ekonomi dan keuangan syariah, mencoba meneliti tema yang sama. Namun berbeda dengan riset-riset yang dilakukan sebelumnya, penelitian ini menggunakan metode Analytic Hierarchy Process (AHP) dan bantuan tools Expert Choice. Responden AHP dalam penelitian ini berjumlah 80 orang yang merupakan nasabah bank syariah di wilayah Jabodetabek.

Hasilnya menunjukkan bahwa faktor layanan (service) menjadi faktor utama preferensi nasabah dalam memilih bank syariah dengan nilai eigenvalue 0.420. Selanjutnya menunjukkan bahwa keputusan nasabah dalam memilih bank adalah karena lebih didorong oleh faktor agama (tingkat kesesuaian dengan syariah) dengan 0.265. Profitabilitas selanjutnya menjadi faktor ketiga alasan pemilihan bank syariah diikuti oleh faktor kemudahan akses (accessibility) dan faktor kecanggihan teknologi (technological advance).

Dalam cluster alternatif, berdasarkan pembobotan kriteria di atas, Bank Syariah Mandiri (BSM) menjadi bank syariah yang paling dipilih dengan bobot 0.323. Bank Muamalat Indonesia (BMI) berada pada posisi kedua dengan 0.234. Sementara itu BNI Syariah memiliki bobot nilai 0.195 dan ada pada posisi ketiga. Selanjutnya, BRI Syariah dan Bank Mega Syariah (BSMI) menempati posisi keempat dan kelima.

Penelitian terkait preferensi ini penting untuk dilakukan secara berkala dan berkelanjutan agar bank syariah mengetahui keinginan dari nasabah dan masyarakat secara umum.

Kamis, 09 Juni 2016

Dampak Spin Off terhadap Tingkat Efisiensi Bank Syariah



Kebijakan Spin Off atau pemisahan bank syariah dari bank induk selalu saja menjadi tema menarik dalam kajian perbankan syariah di Indonesia. SMART Consulting yang fokus dalam kajian ekonomi keuangan syariah, pada tahun 2016 ini melakukan riset terkait hal ini. Penelitian yang dilakukan bertujuan untuk membandingkan tingkat efisiensi empat bank syariah yang merupakan hasil spin off. Perbandingan dilakukan pada masa sebelum dan sesudah spin off. Dengan metode Data Envelopment Analysis, input yang digunakan adalah total dana pihak ketiga dan total aset. Sementara itu untuk variabel output adalah total pembiayaan dan total pendapatan. Data yang digunakan adalah tahun 2007-2011 atau periode dimana keempat bank syariah tersebut melakukan spin off.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa berdasarkan total rata-rata efisiensi seluruh bank syariah yang melakukan spin off (dalam kasus ini terdapat empat bank syariah yaitu BNI Syariah, BRI Syariah, BJB Syariah dan Bank Syariah Bukopin), terjadi penurunan efisiensi secara teknis dan pure teknis dari tahun 2008 hingga tahun 2011. Artinya, terjadi penurunan efisiensi secara teknis dan pure teknis pada bank syariah sesudah dilakukannya spin off.

BNI Syariah mengalami penurunan efisiensi setelah spin off pada Juni 2010. Demikian pula BJB Syariah. BJBS mengalami penurunan efisiensi setelah spin off sekitar Januari 2010. Hal yang sama terjadi pula dengan BRI Syariah. Bank yang fokus pembiayaan UMKM ini mengalami penurunan efisiensi setelah spin off, meskipun tipis. Hal yang berbeda adalah yang dialami Bank Syariah Bukopin. BSB mengalami peningkatan efisiensi rata-rata sebelum dan sesudah spin off.

'Rationale' yang mungkin dipahami adalah bahwa bank syariah pasca melakukan spin off akan terkoreksi posisi keuangannya. Yang pada awalnya sebagian beban/biaya UUS masih mendapat ‘air susuan’ dari induknya, maka setelah berpisah, biaya tersebut akan menjadi beban sendiri. Maka, menjadi wajar jika pada jangka pendek pencapaian tingkat efisiensi ‘bayi BUS’ baru tersebut relatif turun.

Namun demikian setelah dilakukan analisis lanjutan dengan uji beda (t-test) hasilnya menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan efisiensi Bank Syariah antara sebelum dan sesudah spin off.

Senin, 06 Juni 2016

Pemetaan Tingkat Efisiensi Bank Syariah 2016



SMART Consulting, sebuah lembaga riset ekonomi keuangan syariah di Indonesia, telah melakukan penelitian mengenai Pemetaan Efisiensi Bank Syariah di Indonesia Tahun 2016. Dengan menggunakan data mutakhir yang diterbitkan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) bulan Februari 2016 dan pendekatan intermediasi, diperolah beberapa temuan. 

Dipilih sebagai variabel input yaitu: Aset dan Dana Pihak Ketiga (DPK). Sementara itu untuk variabel output adalah Pembiayaan Modal Kerja, Investasi dan Pembiayaan Konsumsi. Dengan menggunakan metode Data Envelopment Analysis (DEA) dibantu aplikasi GIS, didapatkan kelompok daerah berdasarkan tingkat efisiensinya.

Pertama adalah daerah/provinsi dengan tingkat efisiensi antara 92.73-100%. Kelompok pertama ini terdiri dari 15 provinsi yaitu: Bengkulu, Gorontalo, Jambi, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Kepulauan Riau, Lampung, NTT, Sulawesi Barat, Sulawesi Utara, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Bali, Bangka Belitung, dan Jawa Tengah.

Kelompok kedua adalah daerah/provinsi dengan tingkat efisiensi antara 83.02-92.73%. Kelompok kedua ini terdiri dari 7 provinsi yaitu: Jawa Timur, NTB, Kalimantan Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, dan Provinsi Papua. Adapun kelompok ketiga dengan tingkat efisiensi antara 67.90-83.02% terdiri dari 4 provinsi yaitu: Provinsi Banten, Jawa Barat, Sumatera Selatan dan Kalimantan Timur.

Kelompok keempat adalah daerah dengan tingkat efisiensi antara 48.23-67.90%. Kelompok ini terdiri dari 4 provinsi yaitu: Aceh, Riau, DKI Jakarta dan DI Yogyakarta. Sementara kelompok kelima dengan tingkat efisiensi di bawah 48.23% terdiri dari 3 provinsi yaitu: Maluku Utara, Papua Barat dan Provinsi Maluku.