Sabtu, 01 Oktober 2016

Analisis Pengembangan Perbankan Syariah di Indonesia: Aplikasi Metode Analytic Network Process


This study would try to address the problems that faced by Islamic banking institutions in Indonesia. The results showed that the problems that arise in the development of Islamic banks in Indonesia consists of four important aspects, namely: human, technical, legal/structural aspect, and market/communal aspect. Decomposition of problem as a whole gains the priorities: 1) There is not enough of Islamic banks capital yet; 2) Lack of understanding of Islamic bank practitioners; 3) Lack of government support; 4) the trust and public interest to Islamic banks tend to be low.While the priority of policy strategies that are considered able to resolve the problems of Islamic banking industry in Indonesia consists of: 1) strengthen the capital and business scale and improve the efficiency level; 2) improve the quantity and quality of human resources, and also information systems and technologies; Furthermore, 3) improve the structure of Islamic bank funds and harmonization of regulation and supervision.  Keywords: Islamic banks; analytical network process; strategy 

Abstrak. Studi ini akan mencoba menjawab masalah-masalah yang dihadapi oleh institusi perbankan syariah di Indonesia. Hasil penelitan menunjukkan bahwa permasalahan yang muncul dalam pengembangan bank syariah di Indonesia terdiri dari 4 aspek penting yaitu: SDM, teknikal, aspek legal/struktural, dan asapek pasar/komunal. Penguraian aspek masalah secara keseluruhan menghasilkan urutan prioritas: 1) Belum memadainya permodalan bank syariah; 2) Lemahnya pemahaman praktisi bank syariah; 3) Kurangnya dukungan pemerintah dan 4) Trust & minat masyarakat terhadap bank syariah cenderung rendah. Sedangkan prioritas strategi kebijakan yang dianggap mampu menyelesaikan permasalahan industri perbankan syariah di Indonesia terdiri dari: 1) memperkuat permodalan dan skala usaha serta memperbaiki tingkat efisiensi; 2) memperbaiki kuantitas dan kualitas sumber daya manusia bank syariah, berikut juga sistim informasi dan teknologi; 3) perbaikan struktur dana bank syariah dan harmonisasi pengaturan dan pengawasan.  Kata Kunci: perbankan syariah; analytic network process; strategi 
[Jurnal Esensi, UIN Syarif Hidayatullah. Vol 6 No 2, 2016]

Sabtu, 03 September 2016

Top of Mind (ToM) Bank Syariah


Menurut Susanto dan Wijanarko (2004), dalam menghadapi persaingan yang ketat, merek yang kuat merupakan suatu pembeda yang jelas, bernilai, dan berkesinambungan, menjadi ujung tombak bagi daya saing perusahaan dan sangat membantu dalam strategi pemasaran (p. 2). Keller (1993) juga menyatakan bahwa brand equity adalah keinginan dari seseorang untuk melanjutkan menggunakan suatu brand atau tidak. Pengukuran dari brand equity sangatlah berhubungan kuat dengan kesetiaan dan bagian pengukuran dari pengguna baru menjadi pengguna yang setia.
Ekuitas merk sangat berkaitan dengan Brand awareness. Brand awareness adalah pengakuan dan pengingatan dari sebuah merek dan pembedaan dari merek yang lain yang ada di lapangan. Kali ini SMART Consulting mengadakan riset tentang Brand Awareness bank syariah di Indonesia. Salah satu tools dalam riset Brand Awareness adalah Top of Mind (ToM). Secara sederhana, Top of Mind (TOM) merupakan suatu metode pengukuran popularitas merek berdasarkan survey wawancara.
Berbeda dengan Brand Recall, TOM brand awareness adalah merek yang disebutkan pertama kali oleh responden ketika ditanyakan brand (sesuai kategori) yang mereka ketahui.
Caranya sebuah merek/brand bisa diingat ada beragam. Misalnya, dengan promosi dan komunikasi brand yang gencar, mengadakan event yang heboh dan spektakuler, menggandeng endorser yang populer, dan lain sebagainya. Intinya, perusahaan membangun mereknya hingga mencapai awareness tinggi.

TOM ditentukan berdasarkan level tertinggi yang berhasil diraih oleh sebuah brand dibandingkan pesaingnya dalam kategori yang sama, dalam hal ini merk bank syariah. Metode pengambilan sample dilakukan secara purposive random sampling dengan jumlah 50 responden.
Hasilnya menunjukkan bahwa Bank Syariah Mandiri atau lebih dikenal dengan Bank BSM merupakan brand bank syariah yang paling dikenal oleh masyarakat dengan persentase 26.2%. Brand bank syariah kedua adalah Bank Muamalat Indonesia (BMI) dengan persentase 22.1%, diikuti BNI Syariah sebesar 19.4%. Terakhir sebesar 18.8% adalah BRI Syariah. Adapun persentase sebesar 13.6% adalah brand bank syariah lainnya.
Selain Top of Mind, dalam riset Brand Awareness dikenal pula analisis Brand Recall, Brand Recognition, Unaware of Brand, Brand Association, Brand Loyalty dan Perceived Quality.

Kamis, 01 September 2016

Perceptual Map untuk Visualisasi Dua Dimensi


Perceptual Map adalah model visual dua dimensi berdasar Coordinate Cartesian System. Bisa juga lebiih dari dimensi, namun untuk pembahasan dengan Excel yang hanya menyediakan dua axis maka digunakan dua dimensi. Itu berarti ada dua axis yaitu vertikal dan horizontal yang merepresentasi dua variabel yang dikehendaki oleh pengguna untuk berbagai tujuan. Contoh Perceptual Map berikut adalah kaitan antara aspek syariah dan aspek profitabilitas perbankan syariah di Indonesia selama beberapa tahun ke belakang, dalam hal ini Bank Umum Syariah.
Perceptual Map ini dibuat untuk mengetahui posisi persaingan antar Bank Syariah dengan memperhatikan dua Parameter yaitu indeks Maqasid Syariah sebagai proksi tingkat syariah compliance dan ROA-ROE sebagai proksi profitabilitas bank. Perceptual Map bisa dengan mudah dibuat dengan Excel yang telah menyediakan berbagai fasilitas untuk memanipulasi grafik.
Perceptual Map pada dasarnya adalah sebuah visualisasi data untuk tujuan memperbandingkan object dengan memperhatikan parameter yang saling berelasi. Oleh karena itu, Perceptual map juga bisa digunakan untuk memvisualisasikan berbagai fenomena sosial.
Selain untuk kegunaan di atas, perceptual maps juga membantu kita untuk merencanakan positioning dan repositioning. Peta-peta psikologis merupakan sebuah diagram yang menyusun positioning yang berbeda dari sebuah produk ataupun entitas.
Dengan demikian, mudah sekali membuat Perceptual Map dengan Excel. Tetapkan dulu apa tujuan yang dikehendaki, kemudian plot data ke Excel dan selanjutnya gunakan fasilitas yang telah tersedia. Visualisasi data melalui Perceptual Map ini membantu untuk memahami permasalahan dan memetakan kondisi riil yang ada.

Rabu, 31 Agustus 2016

Analisis Intermediasi Bank Syariah dengan Frontier Plot


Fungsi produksi yang menunjukkan "fully efficient firm" (perusahaan yang efisien penuh) secara praktek tidak diketahui. Oleh sebab itu, perlu diestimasi melalui sampel observasi dari perusahaan-perusahaan dalam satu industri.
Menurut Farrell untuk mengestimasi fungsi produksi tersebut dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu: 1) non-parametric piecewise-linear convex isoquant, dan b) fungsi parametrik, seperti bentuk Cobb-Douglas. Sedangkan Coelli menggunakan pendekatan nonparametrik DEA untuk mengestimasi fungsi produksi yang efisien tersebut.
Pengukuran efisiensi dengan menggunakan pendekatan frontier sudah digunakan selama 40 hingga 50 tahun lebih (Coelli, 1996). Metode utama yang menggunakan linier programming dan metode ekonometrika adalah: 1) Data Envelopment Analysis; dan 2) Stochastic Frontier.
Pengukuran efisiensi modern ini pertama kali dirintis oleh Farrell (1957), bekerja sama dengan Debreu dan Koopmans, dengan mendefinisikan suatu ukuran yang sederhana untuk mengukur efisiensi suatu perusahaan yang dapat memperhitungkan input yang banyak.
Dalam penelitian ini 11 Bank Umum Syariah menjadi sampel dengan data laporan keuangan 2015. Untuk memunculkan analisis frontier plot dalam software Banxia, jumlah input-output hanya dibatasi 1 input dan 2 output atau 2 input dengan 1 output. Variabel input dalam studi ini adalah Dana Pihak Ketiga, sementara output adalah Pembiayaan (Y1) dan Pembiayaan untuk UMKM (Y2).
Hasilnya seperti nampak pada gambar. Bank syariah dengan efisiensi tertinggi dengan fungsi intermediasi terbaik untuk output Pembiayaan adalah Maybank Syariah. Sementara itu, dari perspektif intermediasi terbaik untuk output pembiayaan terhadap UMKM adalah Bank Syariah Bukopin dan BRI Syariah. Kedua bank ini memiliki rasio pembiayaan UMKM/DPK terbesar dibanding bank lain. Bank syariah lain yang berkinerja mendekati garis kurva frontier adalah BJB Syariah.

Senin, 29 Agustus 2016

Kapan Bank Syariah Terkena Dampak Krisis?


Apakah perbankan syariah terkena imbas jika terjadi instabilitas ekonomi, baik yang berasal dari dalam negeri maupun dari luar? Periode mana sajakah yang tergolong dalam krisis dan tidak krisis yang dialami perbankan syariah di Indonesia? Dengan pendekatan Markov Switching untuk deteksi dini krisis perbankan, pertanyaan di atas akan dicarikan jawabannya.
Indikator yang digunakan sebagai proksi krisis yaitu Z-Score. Z-score merupakan indikator yang digunakan untuk mengukur stabilitas perbankan dengan cara menjumlahkan ROA dan EA dibagi dengan standar deviasi dari ROA (Čihak et al., 2008). Kemudian Indikator internal yang digunakan dalam penelitian ini di antaranya FDR, CRS (Cash Ratio), BDS (Bank Deposit) dan CAR untuk internal perbankan syariah. Sementara itu indikator eksternal yang digunakan yaitu Inflasi, Suku Bunga, Indeks Harga Produksi Industri, Nilai tukar, Money supply, Kredit Domestik dan Current account/GDP.
Data sekunder didapat dari sumber resmi dan dalam bentuk bulanan dari Januari 2004 sampai 2014. Dan di antara sumber-sumber datanya yaitu didapat dari Statistik Perbankan Indonesia Otoritas Jasa Keuangan (SPI-OJK), Statistik Perbankan Syariah Otoritas Jasa Keuangan (SPS- OJK), Badan Pusat Statistik (BPS), Statistik Ekonomi dan Moneter Indonesia Bank Indonesia (SEKI-BI) dan International Financial Statistics (IFS) yang dipublikasikan oleh IMF dan Kementrian Perdagangan Republik Indonesia.
Variabel yang digunakan sebagai indikator stabilitas perbankan yaitu Z-score(yt). Pada penelitian ini, model markov switching yang digunakan model multivariate yaitu Model MS-VAR (Markov Switching-Vector Auto Regression) yang dapat dijadikan sebagai alternatif dari model time series linier dengan parameter konstan. Menurut Krolzig (1997) ide umum dari model perubahan rezim ini adalah parameter dari vektor time series berdimensi-K {y_t} bergantung terhadap variabel rezim tak terobservasi s_t∈{1,…,m}, yang direpresentasikan melalui peluang suatu keadaan pada rezim tertentu.
Salah satu kelebihan metode MS-VAR yaitu nilai batas indeks krisis (threshold) merupakan variabel endogenous dengan kata lain periode krisis dan lamanya krisis merupakan bagian dari hasil estimasi. Hasil olah data menggunakan OxMetrics 5.1 menunjukkan bahwa terjadi pergeseran dari rezim 1 (masa tenang) ke rezim 2 (masa krisis).
Dalam penelitian markov switching, periode penentuan krisis merupakan bagian dari hasil estimasi. Dari grafik probabilitas klasifikasi rezim bank syariah menunjukkan ada beberapa periode masa tenang dan periode masa krisis dalam model bank syariah ini. Rezim 1 adalah masa tenang sedangkan rezim 2 adalah masa krisis.
Hasilnya menunjukkan bahwa periode krisis yang dialami bank syariah terjadi pada periode Februari 2004 sampai dengan April 2005. Siklus ekonomi kembali berada pada masa krisis pada Agustus 2005 sampai dengan Desember 2006 dan pada periode Maret 2007 sampai dengan September 2007.
Periode krisis selanjutnya terjadi pada selang waktu Agustus 2008 sampai Juni 2009 dan Agustus 2010 sampai dengan September 2010. Berturut-turut kemudian Juli 2013 sampai dengan Agustus 2013, dan September 2013 sampai Februari 2014. Terakhir, periode krisis bank syariah terjadi pada periode Mei 2014 sampai dengan Desember 2014.
Secara umum, kondisi perbankan syariah sebelum 2009 sedikit banyak terimbas kondisi krisis keuangan global yang terjadi di Eropa dengan Yunani yang mengalami kondisi terparah. Selanjutnya periode tahun 2011 hingga 2013 kondisi perbankan syariah relatif stabil. Baru kemudian tahun 2014 hingga 2015 bank syariah mengalami ketidakstabilan diakibatkan kondisi perekonomian dalam negeri pasca Pemilu 2014 dan pergantian kepemimpinan.

Sabtu, 27 Agustus 2016

Dampak Pembiayaan Bank Syariah vs Kredit Bank Konvensional terhadap Inflasi


Bagaimanakah dampak kredit perbankan terhadap kondisi inflasi IHK di Indonesia secara umum? Apakah pembiayaan (financing) bank syariah maupun kredit bank konvensional ikut menyumbang terhadap angka inflasi? Melalui pendekatan Vector Autoregression (VAR), SMART melakukan studi terkait hal ini.
Data yang digunakan dalam studi ini adalah data sekunder berupa time series bulanan yang didapat dari Statistika Ekonomi dan Keuangan Indonesia (SEKI), Statistika Perbankan Syariah (SPS) dan Statistika Perbankan Indonesia (SPI). Seluruh data dimulai dari periode Bulan Januari 2010 hingga Desember 2015.
Sebagai variabel dependen adalah tingkat inflasi diproksi menggunakan indeks harga konsumen di Indonesia. Total pinjaman bank syariah (LNFIN) adalah jumlah pinjaman yang dikeluarkan oleh perbankan syariah minus BPRS, sementara total kredit perbankan konvensional (LNLOAN) diproksi dengan total kredit yang dikeluarkan oleh perbankan konvensional dalam rupiah. Tingkat bunga menggunakan Sertifikat Bank Indonesia. Sedangkan tingkat bagi hasil pinjaman secara agregat menggunakan proksi tingkat bagi hasil SBI Syariah.
Hasil di atas menunjukkan bahwa respon indeks harga konsumen (LNIHK) terhadap guncangan variabel lainnya berfluktuasi. Kita dapat mencermati bahwa LNIHK merespon negatif guncangan variabel pembiayaan perbankan syariah (LNFIN). Artinya, semakin tinggi jumlah pembiayaan perbankan syariah Indonesia akan berpengaruh dan berkontribusi positif pada penurunan tingkat inflasi Indonesia.
Alasan bahwa pembiayaan syariah akan menurunkan tingkat inflasi adalah karena pembiayaan perbankan syariah khususnya pembiayaan produktif berprinsip bagi hasil akan memungkinkan terjadinya pertumbuhan yang seimbang antara sektor moneter dan sektor riil. Keseimbangan tersebut disebabkan oleh prinsip ‘profit lost sharing’ yang membagi pendapatan (revenue) peminjam.
Sementara itu, pola hubungan antara LNIHK dengan LNLOAN adalah positif. Sehingga dapat kita katakan bahwa semakin besar dana kredit yang digelontorkan oleh entitas perbankan konvensional, ternyata berdampak pada meningkatnya inflasi. Begitu pula halnya dengan instrumen moneter seperti SBI.
Kesimpulan ini bersesuaian dengan hasil penelitian yang dilakukan Ascarya (2009) dan Rusydiana (2010). Menurutnya, instrumen suku bunga yang direpresentasikan dengan SBI, adalah determinan inflasi utama di Indonesia. Suku bunga adalah penyebab inflasi yang paling besar dibandingkan dengan variabel lain di dalam model.

Rabu, 24 Agustus 2016

Aplikasi Parametrik SFA untuk Pengukuran Efisiensi Bank Syariah


SFA atau Stochastic Frontier Approach memiliki fungsi dan metode yang sama seperti DEA. Perbedaannya terletak pada cara menghitung batas efisiensi. Pada SFA batas efisiensi diplot dengan bantuan fungsi matematika dan membutuhkan asumsi yang pasti untuk membuat hubungan antara input dan output. Jika DEA tergolong metode pengukuran efisiensi nonparametrik, maka SFA masuk kategori parametrik.
Data yang digunakan adalah seluruh Bank Umum Syariah mulai periode 2012-2015. Data variabel independen dan dependen didapat dari laporan neraca dan laba rugi masing-masing bank. Sebagai variabel dependen adalah adalah Total Pendapatan. Sementara itu untuk variabel independen (X) yakni Total Pembiayaan (X1), Dana Pihak Ketiga (X2), Biaya Personalia (X3) dan Biaya administrasi-umum (X4).
Dalam metode SFA, terbagi 2 pendekatan utama: profit efficiency dan cost efficiency. Penelitian ini menggunakan pendekatan efisiensi profit. Pendekatan profit efficiency secara konsep ekonomi jauh lebih baik dibandingkan dengan pendekatan cost efficiency (Berger dan Mester (2007). Konsep efisiensi keuntungan lebih superior terhadap efisiensi biaya untuk mengevaluasi keseluruhan performance dari sebuah perusahaan dan menyarankan sebuah model efisiensi keuntungan. (Astiyah dan Husman (2005)).
Hasil temuan ditampilkan pada gambar di atas. Pada tahun terakhir (2015), 3 bank syariah tertinggi tingkat efisiensinya adalah: BNI Syariah (1.00), BSM (0.93) dan BRI Syariah (0.92). Hasil ini relatif sesuai dengan hasil pengukuran efisiensi dengan nonparametrik DEA. Sayangnya, metode pengukuran SFA relatif terbatas dari sisi output. Tidak ada rekomendasi berupa potential improvement ataupun bencmarking yang biasa muncul dalam penggunaan DEA.
Untuk memilih teknik analisis mana yang akan dipakai, peneliti harus memerhatikan faktor-faktor yang memengaruhinya, yaitu: (a) Nilai skala yang konstan/ variabel (constant or variable returns to scale), (b) Kekurangan data (data deficiencies) dan (c) Jumlah pengamatan.

Apabila peneliti menggunakan lebih dari satu teknik dalam waktu bersamaan maka tiap teknik yang digunakan untuk mengukur efisiensi terdapat kelebihan dan kekurangan masing-masing. Jika semua teknik muncul dengan temuan yang sama maka pernyataan yang akan dibuat akan lebih dapat diandalkan.

Mengapa Tingkat Efisiensi Industri Perbankan Syariah Indonesia Relatif Rendah?



Tingkat kompetisi bank syariah vis a vis bank konvensional saat ini tergolong rendah. Efisiensi teknis maupun efisiensi skala bank syariah relatif tertinggal dibanding bank konvensional. Berbeda dengan kondisi di Malaysia. Bank syariah di Malaysia lebih mampu bersaing dengan industri perbankan konvensionalnya. Lantas mengapa hal itu terjadi? Kali ini, studi yang dilakukan SMART akan mencoba mengukur Total Potential Improvement perbankan syariah Indonesia dari perspektif industri.

Metodologi yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode nonparametric Data Envelopment Analysis (DEA) dengan pendekatan intermediasi. DEA adalah metode pengukuran efisiensi berbasis input output (Coelli (1998). Cooper et al (1999) dan Farrell (1957)). 

Variabel output dari DMU terdiri dari Total Pembiayaan (Y1) dan Pendapatan Operasional (Y2), sementara variabel input terdiri dari Dana Pihak Ketiga (X1), Biaya Personalia (X2), dan Biaya Administrasi dan Umum (X3). Skor DEA akan diperoleh dari variabel-variabel ini, yang merupakan hasil pembagian antara faktor output dengan input (Charnes, Cooper dan Rhodes, 1978).

Penelitian ini menggunakan data sekunder tahun terakhir yakni tahun 2015 yang sudah dipublikasikan sebagai data pokok, seperti laporan keuangan, neraca, dan laporan arus kas. Data pokok tersebut dapat diperoleh dari publikasi yang diterbitkan oleh masing-masing bank syariah. 

Total Potential Improvement digunakan untuk mengetahui faktor penyebab inefisiensi bank syariah dalam pengamatan ini. Gambar di bawah menunjukkan informasi total potential improvement yang dapat memberikan gambaran umum terkait inefisiensi bank syariah secara industri, bukan per bank.

Grafik total potential improvement menyebutkan bahwa secara industri, inefisiensi bank syariah berasal dari pendapatan operasional (64.53%). Agar mencapai efisiensi optimal, bank syariah perlu untuk meningkatkan output tersebut.

Selanjutnya, agar mencapai tingkat efisiensi yang lebih baik, bank syariah perlu meningkatkan jumlah pembiayaan sebesar 22.81%. Di samping itu, dari sisi input, perbankan syariah perlu melakukan efisiensi usaha dari sisi beban personalia sebesar 6.50% dan beban administrasi-umum sebesar 6.16%. Usaha-usaha ini penting untuk dilakukan agar tercapai tingkat efisiensi yang lebih optimal.

Selasa, 23 Agustus 2016

Efisiensi Sosial vs Efisiensi Finansial Bank Syariah



Lazimnya, pengukuran tingkat efisiensi bank syariah hanya menyentuh pada sisi efisiensi finansial, baik pendekatan produksi, intermediasi maupun pendekatan aset. Tapi bagaimanakah pengukuran performa bank syariah jika ditinjau dari perspektif efisiensi sosial? Lalu, manakah yang tergolong high financial efficiency sekaligus highsocial efficiency? SMART Consulting melalui desk RISK melakukan penelitian terkait hal ini. 

Variabel input dan output untuk pengukuran efisiensi finansial adalah: DPK, Biaya Personalia dan Biaya Administrasi untuk variabel Input serta Pembiayaan dan Pendapatan Operasional untuk output. Sementara itu variabel input dan output untuk pengukuran efisiensi sosial adalah: DPK, Biaya Personalia dan Biaya Administrasi untuk variabel Input serta pembiayaan Kredit Usaha Kecil (KUK) dan dana sosial untuk output.

Bank Umum Syariah dikelompokkan ke dalam 4 (empat) kuadran berdasarkan kategori tingkat efisiensi finansial dan efisiensi sosial, yakni high dan low . Kuadran 1 meliputi bank umum syariah yang memiliki tingkat efisiensi finansial dan sosial yang tinggi, sehingga dapat dianggap sebagai bank syariah terbaik dibanding kelompok kuadran lain. 

Pada sisi lain, Kuadran 4 merupakan kelompok bank umum syariah dengan tingkat efisiensi yang rendah dan stabilitas nilai efisiensi yang tinggi. Kumpulan bank umum syariah pada kelompok ini dapat dianggap sebagai bank syariah yang memiliki tingkat efisiensi yang rendah dan relatif persisten tingkat efisiensinya. Artinya, cenderung tidak ada kenaikan pada tingkat efisiensi yang dicapainya.

Kuadran 1 mencakup BUS yang memiliki tingkat efisiensi yang tinggi, tapi di sisi lain mempunyai tingkat stabilitas efisiensi yang rendah. Kumpulan bank umum syariah pada kelompok ini dapat dianggap sebagai bank syariah dengan nilai efisiensi yang cukup tinggi namun relatif tidak stabil nilai efisiensinya. Artinya, tingginya nilai efisiensi bank syariah pada kuadran ini tidak secara persisten dicapai, namun terjadi fluktuasi (kenaikan dan penurunan) angka efisiensi.

Adapun kuadran 3 meliputi kelompok BUS yang memiliki tingkat efisiensi yang rendah, namun di sisi lain mempunyai nilai stabilitas tingkat efisiensi yang relatif tinggi. Kumpulan bank umum syariah pada kuadran 3 ini dapat dianggap sebagai bank syariah dengan nilai efisiensi yang relatif rendah dan fluktuatif nilai efisiensinya. Sisi baiknya adalah, kelompok bank syariah pada kuadran ini diharapkan mampu mencapai peningkatan tingkat efisiensi di masa mendatang.

Berikut di bawah ini adalah pembagian kelompok bank umum syariah (BUS) berdasarkan perhitungan tingkat efisiensi finansial yang dicapai pada sumbu y dan efisiensi sosialnya selama periode penelitian pada sumbu x.

Pada gambar di atas terlihat bahwa pada periode penelitian 2007-2015, terdapat 1 bank umum syariah yang berada pada kuadran 1, ada 3 bank syariah yang berada pada kuadran 2, dan 3 bank syariah yang masuk ke dalam kuadran 3. Sementara itu terdapat 4 bank umum syariah yang masuk kategori kuadran 4.

Jumat, 19 Agustus 2016

Berapa Rasio FDR Bank Syariah Berdasarkan Wilayah?


Financing to Deposit Ratio (FDR) adalah rasio antara besarnya seluruh volume pembiayaan yang disalurkan oleh bank syariah dengan jumlah penerimaan dana dari berbagai sumber. Rasio yang tinggi menunjukkan bahwa suatu bank meminjamkan seluruh dananya (loan-up) atau relatif tidak likuid (illiquid). Sebaliknya rasio yang rendah menunjukkan bank yang likuid dengan kelebihan kapasitas dana yang siap untuk dipinjamkan.
Rasio yang tinggi menunjukkan bahwa suatu bank relatif illiquid Semakin besarnya penyaluran dana dalam bentuk pembiayaan dibandingkan dengan deposit atau simpanan masyarakat pada suatu bank membawa konsekuensi semakin besarnya risiko yang harus ditanggung oleh bank yang bersangkutan. FDR yang tinggi relatif akan menekan CAR bank.
FDR yang terlampau tinggi berarti likuiditas bank kurang baik karena jumlah DPK tidak mampu menutup pembiayaan yang disalurkan sehingga bank harus menggunakan dana antarbank (call money) untuk menutup kekurangannya. Dana dari call money bersifat darurat, sehingga seyogianya bank tidak menggunakan dana semacam itu untuk membiayai kredit. Dana call money adalah untuk membiayai missmatch likuiditas jangka sangat pendek.
Sebaliknya, angka FDR yang rendah menunjukkan tingkat ekspansi pembiayaan yang rendah dibandingkan dengan dana yang diterimanya dan menunjukkan bahwa bank masih jauh dari maksimal dalam menjalankan fungsi intermediasi. FDR dapat juga digunakan untuk menilai strategi manajemen sebuah bank. Manajemen bank yang konservatif biasanya cenderung memiliki Financing to Deposit Ratio yang relatif rendah, sebaliknya manajemen bank yang agresif memiliki FDR yang tinggi atau melebihi batas toleransi.
Berdasarkan data paling update yang didapat dari Statistik Perbankan Syariah Otoritas Jasa Keuangan, berikut ini adalah komposisi nilai rasio FDR bank umum syariah dan unit usaha syariah menurut masing-masing provinsi. Data ini adalah data akhir bulan Mei 2016.
Lima daerah dengan rasio FDR bank syariah tertinggi adalah: Sulawesi Utara (208%), Jambi (203%), Bali (199%), NTT (197%) dan Kepulauan Riau (191%). Sementara itu provinsi dengan rasio FDR bank syariah terendah adalah: Maluku (30%), Maluku Utara (50%), Papua Barat (53%), DI Yogyakarta (72%) dan DKI Jakarta (75%). Adapun rata-rata rasio FDR bank syariah berada di angka 124%. Rasio yang tergolong terlampau tinggi dibanding batas yang ditentukan.
Sebagian praktisi perbankan menyepakati bahwa batas aman dari FDR suatu bank adalah sekitar 85%. Namun batas toleransi berkisar antara 85%-100% atau menurut Kasmir (2003), batas aman untuk FDR menurut peraturan pemerintah adalah maksimum 110-115 %. FDR berfungsi sebagai indikator intermediasi perbankan.

Selasa, 16 Agustus 2016

Analisis Sentimen Antarwaktu Bank Syariah


Konsep tentang perasaan konsumen merujuk pada perkiraan umum konsumen terhadap pemasaran dan pasar. Bagi para pembuat keputusan yang berkaitan dengan pemasaran, mengikuti sentimen konsumen dapat memberikan indikasi awal tentang perilaku dan kekuatan pasar. Sentimen konsumen akan sangat berguna untuk mengukur keadaan pasar secara umum dan juga sebagai latar belakang untuk mengetahui secara lebih mendalam dan terperinci mengenai kebutuhan, keinginan, dan kepuasan konsumen.
Produsen harus memahami sisi psikografik konsumennya. Psikografis (psychographyc) merupakan konsep menyangkut kepuasan konsumen terkait dengan gaya hidup. Psikografis merupakan instrumen untuk mengukur gaya hidup yang memberikan pengukuran kuantitatif. Konsumen membeli barang dan jasa dapat dilandasi karena tiga hal yaitu kegiatan (activities), minat (interest), dan opini (opinion) disingkat dengan AIO. AIO akan mengarahkan konsumen untuk memilih dan membeli produk mana yang sesuai dengan kebutuhan dan keinginannya sehingga kebutuhan dan keinginannya terpuaskan.
Salah satu analisis dalam konsep psikografis adalah analisis sentimen. Analisis sentimen adalah proses mengidentifikasi dan mengkategori opini/pendapat yang diungkapkan berupa teks. Analisis ini terutama untuk menentukan bagaimana sikap atas topik maupun produk tertentu, apakah positif, negatif ataupun netral. 
Bank syariah, dalam beberapa tahun terakhir menghadapi tantangan yang cukup banyak. Baik yang bersifat mikro maupun makro. Selain karena usia yang ‘baru’ 25 tahun dari masa kelahirannya, bank syariah di Indonesia juga relatif berbeda dengan negara jiran, Malaysia. Salah satu perbedaan misalnya, perspektif pengembangan bank syariah di Indonesia lebih bersifat ‘bottom up’ dibanding Malaysia yang ‘top down’.

Kali ini SMART mencoba melakukan analisis sentimen atas bank syariah dari waktu ke waktu. Sumber data teks adalah pemberitaan media terkait perkembangan bank syariah di Indonesia sejak 2012 hingga 2016. Setiap tahun diambil 35 dokumen pemberitaan sehingga total ada 175 dokumen.
Hasilnya terlihat seperti dalam gambar. Ada beberapa temuan menarik. Pertama, mulai 2012 hingga 2014, sentimen positif atas bank syariah mengalami kenaikan. Sebaliknya, sentimen negatif berangsur menurun. Demikian pula kategori sentimen yang netral. Periode ini menjadi masa yang baik dalam konteks peningkatan persepsi dan sentimen publik atas bank syariah.
Kedua, mulai tahun 2014 hingga 2016 ini, kondisi sentimen atas perbankan syariah justru mengalami penurunan. Jika pada tahun 2014 nilai sentimen positif adalah 83%, pada 2015 nilainya menjadi 54% dan 2016 menjadi hanya 49%. Berkebalikan dengan itu, sentimen negatif atas bank syariah malah meningkat. Jika pada 2014 nilainya hanya 3%, pada tahun selanjutnya meningkat menjadi 9% (2015) dan 26% (2016).
Saat ini, bank syariah menghadapi tantangan cukup berat. Bukan hanya dari eksternal, tapi juga kalangan ‘internal’. Imbas kelesuan kondisi bisnis-ekonomi tahun 2014-2015 direspon lebih lambat dan baru terasa saat ini oleh industri perbankan. Ada time lag. Selain itu, persepsi bahwa ‘bank syariah sama saja dengan bank konvensional’ menjadi alasan krusial lain. Edukasi terhadap publik memang belum sepenuhnya berhasil. Para stakeholder perbankan syariah perlu berpikir keras untuk menyusun strategi marketing dan sosialisasi agar lebih mampu direspon positif oleh pasar.

Senin, 15 Agustus 2016

Bagaimana Kondisi Pembiayaan Macet Bank Syariah pada 2016?


Akhir tahun lalu, memang menjadi salah satu periode berat industri perbankan syariah di Indonesia. Kredit macet atau rasio Non Performing Financing (NPF) bank syariah secara umum berada pada angka 4,7%, hampir mencapai batas maksimal yang ditetapkan sebesar 5%. Di saat yang sama, bank konvensional hanya berada di kisaran 2% 'saja'. Secara total, nilai kredit macet perbankan syariah tahun 2015 mencapai Rp 9,7 triliun. Tentu, sebuah angka yang tidak kecil, bukan?
Sesungguhnya ada alasan cukup logis terkait kondisi tersebut. Seperti kita ketahui, tahun 2014-2015 adalah tahun dimana kondisi ekonomi dan bisnis di Indonesia secara umum sedang mengalami perlambatan. Growth ekonomi Indonesia hanya mencapai 4,79% atau terendah selama 6 tahun terakhir. Dengan kondisi tersebut, wajar jika banyak usaha yang ikut tumbang atau merugi dalam bisnisnya. Secara sekuensial hal ini tentu berimbas pada pembiayaan bank syariah yang masuk kategori macet.
Lantas, bagaimanakah kondisi NPF pada tahun 2016 ini? Dari perspektif pembiayaan modal kerja, investasi dan pembiayaan konsumtif, manakah diantara ketiganya yang menyumbang kredit macet paling besar? Lalu, dari perspektif wilayah, manakah provinsi dengan nilai NPF yang paling tinggi?
Dengan tools Watson Analytic, berikut ini adalah hasil yang didapat menggunakan data dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) terkait NPF bank syariah tertanggal Mei 2016. Data ini adalah yang paling update dan merupakan akumulasi dari nilai pembiayaan macet Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah.
Secara total, angka pembiayaan bermasalah perbankan syariah pada bulan Mei 2016 adalah Rp 12,1 triliun atau mendekati 3%. Porsi terbesar dari NPF bank syariah adalah pembiayaan modal kerja yang mencapai Rp 5,8 triliun. Sementara nilai kredit macet tipe pembiayaan investasi dan konsumsi sebesar Rp 3,3 dan Rp 3 triliun.
Berdasarkan perspektif wilayah, 5 provinsi dengan nilai pembiayaan macet terbesar pada Mei 2016 adalah: DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, Sumatera Utara dan Jawa Tengah. Kelima provinsi ini menyumbang angka kredit mecat hingga Rp 9 triliun atau 3/4 dari total pembiayaan bermasalah. Tentu saja, hal ini berkaitan dengan postur pembiayaan yang diberikan (financing) yang memang besar untuk wilayah-wilayah tersebut.
DKI Jakarta menjadi daerah yang memiliki nilai pembiayaan macet tertinggi dari tipe pembiayaan modal kerja. Sementara itu Jawa Barat menjadi provinsi yang memiliki nilai pembiayaan macet tertinggi dari tipe pembiayaan investasi dan pembiayaan konsumtif. Memang, NPF ini menjadi salah satu PR paling besar para praktisi perbankan, termasuk bank syariah.
Kondisi Industri perbankan syariah saat ini masih terhitung masih muda, Infrastruktur bank syariah seperti manpower atau prosesnya masih dalam tahap 'investment grade'. Dengan kondisi tersebut, tentunya menjadi tantangan tersendiri bagi para praktisi perbankan syariah.

Minggu, 14 Agustus 2016

Sensitivitas DEA untuk Mengidentifikasi Faktor Input Output Utama: Aplikasi pada 5 Bank Syariah



Analisis sensitivitas DEA dirancang untuk mempelajari pengaruh perubahan dalam parameter model terhadap pemecahan optimum. Tujuan akhir dari analisis ini adalah untuk memperoleh informasi tentang pemecahan optimum yang baru dan yang dimungkinkan dengan perhitungan tambahan yang minimal.

Analisis sensitivitas lazim digunakan untuk mengukur tingkat pengaruh masing-masing variabel terhadap nilai efisiensi relatifnya. Dalam analisis sensitivitas ini dilakukan verifikasi apakah nilai efisiensi relatif dari suatu DMU terpengaruh secara signifikan apabila salah satu variabel input dan output diabaikan. Oleh karena itu, analisis sensitivitas ini dilakukan melalui proses simulasi menggunakan perhitungan DEA model super efisiensi, baik CCR maupun BCC. 

Untuk mengetahui bagaimana pengaruh masing-masing variabel terhadap nilai efisiensi, dilakukan perbandingan antara nilai efisiensi awal dengan nilai efisiensi hasil simulasi. Jika suatu perubahan kecil dalam variabel menyebabkan perubahan drastis terhadap nilai efisiensi, hal ini berarti nilai efisiensi sangat sensitive terhadap nilai variabel tersebut. Namun sebaliknya, jika perubahan variabel tidak mempunyai pengaruh besar terhadap nilai efisiensi, maka nilai efisiensi tersebut relatif insensitive terhadap nilai variabel. Hasil analisis ini berpengaruh pada perumusan rekomendasi akhir.

Data yang digunakan adalah 5 Bank Umum Syariah dengan asset terbesar periode 2015-2014. Data variabel input dan output didapat dari laporan neraca dan laba rugi masing-masing bank. Tiga input dan dua output digunakan untuk mengukur efisiensi dan analisis sensitivitas efisiensi bank syariah. Sebagai variabel input adalah Dana Pihak Ketiga (X1), Biaya Personalia (X2) dan Biaya administrasi-umum. Sementara itu untuk variabel output yaitu Total Pembiayaan (Y1) dan Pendapatan Operasional (X2).

Berdasarkan pengukuran sensitivitas yang telah dilakukan, dapat dikatakan bahwa nilai efisiensi relatif tidak begitu sensitif terhadap nilai variabel input biaya personalia (X2) dan biaya adminsitrasi & umum (X3). Sementara itu, nilai efisiensi dapat dikatakan sangat sensitif terhadap variabel dana pihak ketiga (X1). 

Di sisi lain, jika salah satu variabel output diabaikan, baik variabel total pembiayaan (Y1) maupun pendapatan operasional (Y2), maka akan terjadi pengaruh yang besar terhadap nilai efisiensi. Maka, dapat disimpulkan bahwa nilai efisiensi DMU dalam hal ini bank umum syariah (BUS) sangat sensitif terhadap nilai variabel output, terutama variabel pendapatan operasional.

Dengan demikian, variabel input maupun output yang perlu menjadi perhatian dalam upaya peningkatan efisiensi bank umum syariah di Indonesia adalah: variabel Dana Pihak Ketiga/DPK (X1) di sisi input, serta variabel Pendapatan Operasional (Y2) dan Total Pembiayaan (Y1) pada sisi output.

Sabtu, 13 Agustus 2016

Multidimensional Scaling untuk Positioning Bank Syariah



Multidimensional scaling (MDS) merupakan suatu teknik statistik yang mengukur obyek-obyek dalam ruangan multidimensional didasarkan pada penilaian responden mengenai kemiripan (similarity) obyek-obyek tersebut. Perbedaan persepsi diantara semua obyek direfleksikan didalam jarak relative diantara obyek-obyek tersebut didalam suatu ruangan multidimensional. 

Tujuan dari multidimensional scaling adalah untuk memberikan gambaran visual dari pola kedekatan yang berupa kesamaan atau jarak diantara sekumpulan objek-objek. Penerapan MDS dapat dijumpai pada visualisasi ilmiah dan data mining dalam ilmu kognitif, informasi, pemasaran dan bisnis maupun ekologi.

MDS dapat menunjukkan dimensi penilaian dari responden secara langsung ke dalam pola visualisasi kedekatan mengenai kesamaan produk, berbeda dengan analisis faktor atau diskriminan yang melibatkan penilaian dari si peneliti. Karena keunggulan inilah MDS merupakan suatu alat yang paling umum digunakan dalam pemetaan perceptual (perceptual mapping).

Melalui desk khusus yang banyak meneliti terkait marketing syariah, i-Markethink, SMART melakukan penelitian survey kepada 30 responden nasabah bank syariah. Tujuannya adalah ingin melihat peta persepsi bank syariah berikut karakteristik yang mengikutinya. Namun, objek penelitian dibatasi hanya bank syariah dengan asset di atas Rp 10 triliun.

Hasilnya menunjukkan bahwa karakter yang dianggap paling dekat oleh responden dengan Bank Muamalat adalah aspek 'syariah'. Sementara itu, BSM dianggap lebih memiliki kekuatan dari sisi 'kecanggihan IT', juga dekat dengan aspek 'aksesibilitas kantor'. Adapun BNI Syariah dianggap oleh responden memiliki karakter yang dekat dengan 'service'. BRI Syariah lebih dekat dengan aspek 'akses'.

Analisis positioning ini adalah salah satu hal yang penting untuk dilakukan oleh bank syariah agar ia mengetahui dimana posisinya terhadap kompetitor lain atas variabel-variabel karakteristik tertentu. Perceptual mapping dalam MDS ini adalah satu analisis yang dianggap paling baik karena kemampuannya memetakan objek dalam ruangan multidimensi.

Kamis, 11 Agustus 2016

Menghitung Super Efisiensi Bank Umum Syariah



Efisiensi mengarah pada ukuran baik atau buruknya penggunaan sumber daya dalam mencapai tujuan. Menurut Sumanth (1984) efisiensi merupakan rasio dari output aktual yang dicapai terhadap output standar yang diharapkan. 

DEA model dasar menggolongkan unit pengambil keputusan atau Decision Making Unit (DMU) ke dalam 2 kelompok besar yakni unit efisien dan yang tidak efisien. Unit efisien bernilai 1 atau 100%, sedangkan unit yang memiliki nilai di bawah 1 termasuk ke dalam kelompok yang tidak efisien. Namun, kekurangan model DEA dasar adalah kita akan kesulitan menentukan peringkat terbaik dari DMU manakala terdapat beberapa unit DMU yang sama-sama bernilai 1. 

Anderson dan Petersen (1993) kemudian memperkenalkan konsep super efisiensi. Konsep dasar dari super efisiensi adalah membiarkan adanya efisiensi DMU yang diamati lebih besar dari 1 atau 100%. Super efisiensi hanya mempengaruhi unit yang dianggap sama efisien dengan batasan yang dihilangkan. 

Sementara itu unit yang tidak efisien tidak terpengaruh karena efisiensi lebih kecil daripada 1. Super efisiensi sebenarnya merupakan suatu ukuran kekuatan unit-unit yang efisien yang digunakan untuk meranking unit DMU yang menjadi objek observasi.

Kali ini SMART akan menghitung nilai super efisiensi BUS di Indonesia dengan data 2015. Sebagai variabel input adalah Dana Pihak Ketiga (X1), Biaya Personalia (X2) dan Biaya administrasi-umum. Sementara itu untuk variabel output yaitu Total Pembiayaan (Y1) dan Pendapatan Operasional (X2). Penggunaan DPK dan pembiayaan dalam input-output karena penelitian ini menggunakan pendekatan intermediasi. 

Kelompok bank dibagi 2: BUS dengan aset di atas Rp 10 triliun dan BUS dengan aset di bawahnya. Hasilnya diperoleh bahwa di antara bank syariah besar yang ada, nilai tertinggi dimiliki oleh BNI Syariah dengan nilai efisiensi relatif sebesar 81,1%, kemudian diikuti oleh BSM sebesar 74,7%. BMI dan BRI Syariah berada pada posisi ketiga dan keempat dengan nilai efisiensi sebesar 72,7% dan 58,4%.

Untuk kategori bank syariah di bawah aset Rp 10 triliun, 3 Bank Umum Syariah terbaik dari perspektif super efisiensi adalah: pertama Maybank Syariah dengan nilai efisiensi 306,9%, kedua BCA Syariah dengan nilai 270,6% dan Bank Panin Syariah (131,2%) ada pada posisi ketiga. Berturut-turut setelahnya adalah BJBS, Bukopin Syariah, BTPNS, Victoria Syariah dan Bank Mega Syariah.

Pengukuran tingkat efisiensi industri termasuk perbankan, mayoritas dilakukan dengan pendekatan nonparametrik Data Envelopment Analysis. Sayangnya, saat ini analisis masih sangat miskin pengembangan (baca: hanya sedikit sekali tipe analisis). Padahal, DEA masih sangat kaya variasi analisis. Sebut saja: Window Analysis (DEWA), analisis sensitivitas DEA, super efficiency, SBM Model, Network DEA dan sebagainya.

Kamis, 28 Juli 2016

Manakah Negara dengan Aset Bank Syariah Terbesar?



Islamic Finance Country Index (IFCI) merupakan bagian dari Global Islamic Finance Report (GIFR) yang meranking negara berdasarkan beberapa indikator keuangan syariah di negara masing-masing. Data GIFR terakhir tahun 2016 menunjukkan Indonesia berada pada peringkat ke-6 dari total 48 negara yang diteliti. Peringkat pertama masih diduduki oleh Malaysia.

Berbeda dengan hasil tersebut, EY, sebuah lembaga riset internasional, rutin melakukan riset terkait 'World Islamic Banking Competitiveness Report' atau WIBCR. Jika IFCI mengukur keseluruhan industri keuangan Islam, maka WIBCR lebih spesifik melihat perkembangan industri perbankan syariah tiap negara.

SMART kemudian melakukan pemetaan negara-negara dengan aset perbankan syariah terbesar di dunia. Berdasarkan hasil laporan tersebut, terdapat sedikitnya 9 negara dengan pangsa aset lebih dari 93% bank syariah dunia dengan total aset sebesar USD 920 Miliar pada akhir tahun 2015.

Pada kategori pertama adalah negara dengan aset perbankan syariah terbesar di dunia (warna hijau) dengan kategori aset di atas USD 100 Miliar. Ada 3 negara yang termasuk dalam kelompok ini yaitu: Saudi Arabia (USD 291 Miliar), lalu Malaysia (USD 137 Miliar) dan terakhir UEA (USD 136 Miliar). Ketiga negara ini adalah yang paling dominan menguasai pangsa perbankan syariah dunia.

Kategori kedua adalah negara dengan aset perbankan syariah berukuran sedang (warna kuning) dengan aset antara USD 30-100 Miliar. Tiga negara yang termasuk dalam kelompok ini yaitu: Kuwait (USD 89 Miliar), Qatar (USD 72 Miliar) dan ketiga Turki (USD 45 Miliar). Khusus negara Turki, belakangan negara ini cukup melesat perkembangan perbankan syariahnya. 

Adapun kategori ketiga adalah negara dengan aset perbankan syariah berukuran relatif kecil (warna merah) dengan aset di bawah USD 30 Miliar. Tiga negara yang termasuk dalam kelompok ini yaitu: Indonesia (USD 22 Miliar), Bahrain (USD 14 Miliar) dan negara Pakistan (USD 12 Miliar). 

Indonesia sesungguhnya memiliki potensi yang sangat besar untuk naik kelas. Luas wilayah, market size hingga jumlah populasi muslim yang sangat besar menjadi pertimbangan. Namun seperti yang sama-sama kita ketahui, hal ini masih kurang cukup untuk menjadikan Indonesia sebagai 'big player' industri perbankan syariah dunia. Hal lain seperti regulasi, kesiapan infrastruktur dan SDM dianggap masih kurang.

Di luar 3 kategori ini sesungguhnya ada negara-negara lain yang tidak masuk dalam observasi. Beberapa negara tersebut antara lain: Bangladesh, Sudan, Mesir, Jordan, Oman dan yang lainnya. Termasuk juga UK yang industri perbankan syariahnya makin menggeliat.

Senin, 25 Juli 2016

Pengembangan Perbankan Syariah Indonesia dengan Analytic Network Process



Dalam perkembangan terakhir, industri perbankan syariah ternyata mengalami penurunan performa dibanding perbankan konvensional. Misalnya, tercermin dari non performing financing yang relatif tinggi. Ataupun pengukuran efisiensi yang lebih rendah dibanding industri perbankan konvensional. Eksistensi bank syariah di Indonesia belum didukung oleh faktor-faktor pendukung yang memungkinkan perbankan syariah untuk terus berkembang dan berjalan dengan baik. 

Ada beberapa faktor yang menjadi penghambat berkembangnya industri perbankan syariah di Indonesia, antara lain: belum memadainya sumber daya manusia yang terdidik dan profesional, menyangkut manajemen sumber daya manusia dan pengembangan budaya serta jiwa wirausaha (entrepreneurship) bangsa kita yang masih lemah, permodalan (dana) yang relatif kecil dan terbatas, dan adanya ambivalensi antara konsep syariah pengelolaan bank syariah dengan operasionalisasi di lapangan.

Selain problem di atas, ditambah pula dengan tingkat kepercayaan yang masih rendah dari umat Islam dan secara akademik belum terumuskan dengan sempurna untuk mengembangkan lembaga keuangan syariah dengan cara sistematis dan proporsional. Kompleksitas persoalan tersebut menimbulkan dampak terhadap kepercayaan masyarakat tentang keberadaan bank syariah di antara lembaga keuangan konvensional.

Berdasarkan latar belakang yang telah diungkapkan di atas, tahun 2016 ini SMART Consulting melakukan riset terkait Pengembangan Perbankan Syariah di Indonesia. Rumusan masalah yang diangkat dalam penelitian ini adalah: apa sajakah masalah-masalah yang dihadapi oleh institusi perbankan syariah di Indonesia terutama 1-2 tahun terakhir? Apa saja solusi yang tepat? Bagaimana strategi yang harus diterapkan dalam kerangka strategis jangka panjang? Dengan pendekatan metode Analytic Network Process (ANP), beberapa pertanyaan tersebut akan coba dijawab dan dicarikan solusinya. 

Analytic Network Process (pertama kali dikembangkan Thomas Saaty) merupakan teori matematis yang mampu menganalisa pengaruh dengan pendekatan asumsi-asumsi untuk menyelasaikan bentuk permasalahan. Metode ini digunakan dalam bentuk penyelesaian dengan pertimbangan atas penyesuaian kompleksitas masalah secara penguraian sintesis disertai adanya skala prioritas yang menghasilkan pengaruh prioritas terbesar. ANP juga mampu menjelaskan model faktor-faktor dependence serta feedback nya secara sistematik. Pengambilan keputusan dalam aplikasi ANP yaitu dengan melakukan pertimbangan dan validasi atas pengalaman empirical. 

Permasalahan dalam hal pengembangan perbankan syariah di Indonesia dapat dibagi menjadi 4 aspek yang terdiri dari aspek sumber daya manusia (human resources), Teknis (technical), aspek Legal/Struktural dan aspek Pasar. 

Penguraian aspek masalah secara keseluruhan menghasilkan urutan prioritas: 1) Belum memadainya permodalan bank syariah; 2) Lemahnya pemahaman praktisi bank syariah; 3) Kurangnya dukungan pemerintah dan 4) Trust & minat masyarakat terhadap bank syariah cenderung rendah.

Sedangkan prioritas strategi kebijakan yang dianggap mampu menyelesaikan permasalahan industri perbankan syariah di Indonesia terdiri dari: 1) memperkuat permodalan dan skala usaha serta memperbaiki tingkat efisiensi; 2) memperbaiki kuantitas dan kualitas sumber daya manusia bank syariah, berikut juga sistim informasi dan teknologi; 3) perbaikan struktur dana bank syariah dan harmonisasi pengaturan dan pengawasan.

Minggu, 24 Juli 2016

Analisis Sentimen Bank Syariah Indonesia: Pendekatan Text Analytics


Sentiment Analysis merupakan sebuah cabang penelitian pada domain Text Mining yang mulai booming pada awal tahun 2002-an. Risetnya mulai marak semenjak paper dari B.Pang dan L.Lee muncul. Sederhananya, text mining lebih bertujuan untuk mengolah kata, bukan mengolah angka.

Sentiment analysis terdiri dari 3 subproses besar yakni:
Subjectivity Classification, Orientation Detection dan Opinion Holder & Target Detection. Hingga saat ini, hampir sebagian besar penelitian di bidang sentiment analysis ditujukan untuk Bahasa Inggris karena memang Tools/Resources untuk bahasa inggris sangat banyak sekali. Beberapa resources yang sering digunakan untuk sentiment analysis adalah SentiWordNet dan WordNet.

SMART Consulting mencoba mengukur tingkat sentimen publik terhadap bank syariah di Indonesia. Terutama juga dikaitkan dengan komparasi terhadap perkembangan bank syariah di negara tetangga, Malaysia. Dipilih 20 dokumen yang digunakan sebagai sumber data. Tools Semantria digunakan sebagai alat bantu.

Hasilnya menunjukkan bahwa dari data yang ada, hanya 30% dokumen yang memiliki sentimen positif atas perkembangan bank syariah di Indonesia. Sementara itu, 35% dokumen bersentimen negatif. Sisanya, yakni sebesar 35% lebih mengarah pada penilaian netral. 

Merujuk hasil ini, pada faktanya, sentimen negatif lebih dominan dibanding dengan sentimen positif atas perkembangan industri bank syariah di Indonesia. Tentu saja banyak alasan yang mendasarinya: Kekurangan SDM syariah yang handal, persepsi masyarakat yang kurang baik, hingga regulasi yang kurang mendukung dibanding yang dilakukan otoritas yang sama di negeri jiran.

Jumat, 15 Juli 2016

Mengukur Tingkat Produktivitas Bank Syariah



Produktivitas mengandung arti perbandingan antara hasil yang dicapai (output) dengan keseluruhan sumber daya yang digunakan (input). Dengan kata lain produktivitas memliliki dua dimensi. Dimensi pertama adalah efektivitas yang mengarah kepada pencapaian target berkaitan dengan kualitas, kuantitas dan waktu. Yang kedua yaitu efisiensi yang berkaitan dengan upaya membandingkan input dengan realisasi penggunaannya atau bagaimana pekerjaan tersebut dilaksanakan.

Bank syariah sebagai sebuah industri jasa yang melayani nasabah, sangat perlu memperhatikan produktivitas dalam menjalankan roda usahanya. Di samping sebagai sebuah lembaga intermediasi yang dituntut tepat mengelola dana nasabah, bank syariah juga perlu tetap menjaga performa bisnisnya sehingga menghasilkan keuntungan yang diharapkan. SMART Consulting tertarik untuk meneliti sejauh mana tingkat produktivitas bank syariah di Indonesia belakangan ini.

Untuk mengukur produktivitas bank syariah yang diobservasi, penelitian ini menggunakan analisis Malmquist Productivity Index (MPI). Indeks Malmquist secara spesifik melihat tingkat produktivitas masing-masing unit bisnis, dalam hal ini bank syariah, sehingga akan terlihat perubahan dari tingkat efisiensi dan teknologi yang digunakan berdasarkan input dan output yang telah ditetapkan. Indeks ini juga digunakan untuk menganalisis perubahan kinerja antarwaktu.

Indeks Malmquist pertama kali dibuat oleh Sten Malmquist pada 1953 untuk mengukur produktivitas. MPI berlandaskan pada konsep fungsi produksi (production function) yang mengukur fungsi produksi maksimum dengan batasan input yang sudah ditentukan. Dalam perhitungannya, indeks ini terdiri atas beberapa hasil yaitu: efficiency change, technological change, pure efficiency change, economic scale change dan TFP change.

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah 11 Bank umum syariah dari tahun 2012 hingga 2014. Variabel input dan output didapat dari laporan neraca dan laba rugi masing-masing bank. Tiga input dan dua output digunakan untuk mengukur efisiensi dan tingkat produktivitas bank syariah. Sebagai variabel input adalah Dana Pihak Ketiga (X1), Biaya Personalia (X2) dan Biaya administrasi dan umum (X3). Sementara itu untuk variabel output yaitu Total Pembiayaan (Y1) dan Pendapatan Operasional (X2).

Hasil yang diperoleh dari skor indeks Malmquist (TFP Change) menunjukkan bahwa 8 bank syariah dari total 11 BUS mengalami peningkatan produktivitas, atau sekitar 73% dari keseluruhan bank umum syariah. Ini ditandai dengan skor 'TFP Change' lebih dari 1. Sementara sisanya menunjukkan tingkat produktivitas yang relatif rendah.

Pengukuran tingkat produktivitas industri perbankan dan keuangan syariah perlu dilakukan secara berkala dan konsisten, agar pihak-pihak berkepentingan dapat menganalisa dan menentukan arah kebijakan yang tepat dalam rangka pengembangan industri ini.

Kamis, 14 Juli 2016

18 Model DEA untuk Mengukur Efisiensi Bank Syariah



Pengukuran tingkat efisiensi banyak berkutat pada 2 model saja yaitu CCR yang berasumsi Constant Return to Scale dan BCC yang memiliki asumsi Variable Return to Scale. Namun sesungguhnya, selain model CCR (CRS) dan BCC (VRS) tersebut, masih banyak lagi model DEA lain. Tercatat sedikitnya ada 40 model DEA yang dapat digunakan untuk mengukur tingkat efisiensi suatu DMU. 

DEA menawarkan tiga orientasi dalam perhitungan efisiensi relatifnya yaitu (1) Model orientasi input (input-oriented model) yaitu model dimana setiap DMU diharapkan memproduksi sejumlah output tertentu dengan sejumlah input terkecil yang memungkinkan (minimasi input), dengan demikian input merupakan sesuatu yang dapat dikontrol; (2) Model orientasi output (output-oriented model) yaitu model dimana setiap DMU diharapkan memproduksi sejumlah output terbesar yang memungkinkan dengan sejumlah input tertentu (maksimasi output), dengan demikian output merupakan sesuatu yang dapat dikontrol; dan (3) Model orientasi dasar (base-oriented model) yaitu model dimana setiap DMU diharapkan memproduksi dengan kondisi gabungan optimal antara input dan output, dengan demikian input dan output merupakan sesuatu yang dapat dikontrol. (Charnes et. al, 1994).

Kali ini, SMART melakukan reviu terkait pengukuran tingkat efisiensi Bank Umum Syariah dengan mengaplikasikan 18 model DEA. Model yang digunakan adalah adalah: CCR Input-Output, BCC Input-Output, GRS Input-Output, IRS Input-Output, DRS Output, SBM, SBM VRS, SBM GRS, SBM Input-Output, NC Input-Output dan ND Input-Output. Sebagai alat bantu, tools analysis yang digunakan dalam penelitian ini adalah Software Open Source DEA (OSDEA). Software ini relatif jarang dipakai dimana mayoritas peneliti menggunakan software MaxDEA, Banxia, atau DEAP dalam riset efisiensinya.

Variabel output yang digunakan untuk menghitung efisiensi adalah total pembiayaan yang diberikan dan pendapatan operasional tahun 20011-2014, sedangkan variabel input yang digunakan adalah dana pihak ketiga, biaya personalia dan biaya administrasi dan umum tahun 2011-2014. Dari ke-18 model tersebut akan diketahui bank syariah yang menjadi best practice dan akan diketahui original-projected value, radial-slack movement, dan peers (benchmarks) pada masing-masing BUS. 

Dari ke-18 model DEA yang dijelaskan di atas, penelitian ini mencoba mengukur tingkat efisiensi Bank Umum Syariah selama periode 2011-2014. Data hanya sampai 2014 mengingat beberapa BUS masih belum mempublikasi resmi laporan keuangan tahun 2015. Setelah dilakukan pengukuran masing-masing, selanjutnya dilakukan rata-rata terhadap nilai efisiensi yang ada dari setiap model. Berikut di bawah ini adalah hasil perhitungan tingkat efisiensi per tahun dari 11 BUS selama periode penelitian.

Hasilnya, BUS yang masuk kategori efisiensi tinggi antara lain: Maybank, Panin, Mega, BMI dan BCA. BUS yang masuk dalam kategori sedang adalah: Bukopin, BNI, BSM, BJB dan BRI. Adapun Victoria tergolong ke dalam BUS dengan kategori efisiensi relatif rendah.

Rabu, 13 Juli 2016

Importance Performance Analysis (IPA) pada Lembaga Keuangan Syariah



Importance Performance Analysis atau disingkat IPA adalah suatu teknik analisis yang digunakan untuk mengidentifikasi faktor-faktor kinerja penting apa yang harus ditunjukkan oleh suatu organisasi dalam memenuhi kepuasan para pengguna jasa mereka (konsumen).

Metode analisis ini pertama kali diperkenalkan oleh John A. Martilla dan John C. James tahun 1977. Awalnya, Martilla dan James memaksudkan metode ini untuk digunakan dalam bidang riset pemasaran dan perilaku konsumen. Kendati demikian, pada perkembangan selanjutnya, kini penggunaannya telah meluas pada riset-riset pelayanan rumah sakit, pariwisata, sekolah, bahkan hingga analisis atas kinerja birokrasi publik (pemerintahan).

Uji ini dilakukan guna menguji apakah terdapat kesenjangan (gap) antara Harapan dengan Persepsi dalam variabel yang dianalisis. Uji dilakukan dengan membedakan nilai Mean antara Harapan dengan Persepsi dan perbedaan tersebut berlangsung dalam kelompok sampel yang sama (pelanggan sama, mengisi kuesioner sama).

Selanjutnya, pendekatan ini membagi kelompok variabel menjadi 4 kuadran. Kuadran pertama sebelah kiri atas tergolong ke dalam faktor prioritas utama. Kuadran kedua terletak pada kanan atas. Kuadran ketiga berada pada kiri bawah. Sementara kuadran terakhir terletak di kanan bawah.

KUADRAN I = Prioritas Utama 
Faktor-faktor yang dianggap penting oleh pelanggan tetapi pada kenyataannya faktor-faktor ini belum sesuai dengan harapan. Atribut-atribut yang termasuk ke dalam kuadran ini harus mendapat perhatian lebih atau diperbaiki sehingga kinerjanya meningkat.

KUADRAN II = Pertahankan Prestasi 
Faktor-faktor yang dianggap penting telah sesuai dengan kenyataan yang dirasakan oleh pelanggan sehingga tingkat kepuasan relatif tinggi. Atribut-atribut yang termasuk ke dalam kuadran ini harus tetap dipertahankan karena atribut-atribut inilah yang telah menarik perhatian pelanggan untuk memanfaatkan produk tersebut.

KUADRAN III= Prioritas Rendah 
Faktor-faktor yang dianggap kurang penting oleh pelanggan dan pada kenyataannya tidak terlalu istimewa. Peningkatan pada atribut-atribut dalam kuadran ini dapat dipertimbangkan kembali karena pengaruh terhadap manfaat yang dirasakan oleh pelanggan sangat kecil. 

KUADRAN IV = Berlebihan 
Faktor-faktor yang dianggap kurang penting oleh pelanggan namun pada kenyataannya sudah cukup memuaskan. Variabel-variabel yang termasuk dalam kuadran ini dapat dipertimbangkan untuk dikurangi, sehingga perusahaan dapat menghemat biaya. 

Gambar di atas memperlihatkan hasil analisis IPA sebuah bank syariah. Ada 24 variabel (atribut) yang dianalisis, mulai dari pelayanan antrian, ATM, tempat parkir, hingga pelayanan sms dan internet banking. Hasilnya menunjukkan, terdapat 3 atribut yang masuk dalam kuadran I (prioritas utama perbaikan), 9 atribut masuk ke dalam kuadran II (pertahankan), 8 atribut tergolong kuadran III (prioritas rendah) dan 4 atribut yang masuk ke dalam kuadran IV (berlebihan).

Penggunaan metode Importance Performance Analysis ini penting untuk dilakukan secara berkala oleh setiap bank syariah, dalam rangka mengetahui preferensi dan penilaian nasabah atas pelayanan yang diberikan.